KASUS
PENGGELAPAN PAJAK
Apa sih
pajak itu?Pengertian pajak sendiri adalah iuran wajib yang dikeluarkan oleh
warga Negara atau dengan kata lain suatu tanggungan yang harus dibayarkan oleh
warga Negara untuk membiayai pemerintahan dan membangun negerinya.Pajak sendiri
bermacam-macam jenisnya seperti pajak penghasilan,pajak bumi,dll.Dengan adanya
pajak, Negara bisa menggaji pegawai kantoran,guru,polisi,dll,serta dapat
membangun jembatan,jalan raya,sekolah,Rumah Sakit dan fasilitas umum lainnya.Di
Indonesia,dari 1400triliun APBN yaitu 75% berasal dari pajak.Dibandingkan
dengan Negara-negara seperti Malaysia,Korea selatan,dan Negara lainnya Indonesia
masih tergolong sangat rendah pendapatan pajaknya.Rendahnya penerimaan pajak
Indonesia,menunjukkan belum optimalnya kinerja pemerintah dalam pemungutan
pajak.Di Indonesia sendiri sudah banyak yang telah melakukan wajib pajak
meskipun tidak memenuhi jumlah semestinya.Namun banyak pula yang tidak mau
memenuhi wajib pajaknya. Namun karena pajak sifatnya wajib dan dipaksakan,sehingga
setiap perusahaan atau warga Negara harus membayar pajak,maka dari itu banyak
perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya dan banyak juga yang melakukan
kecurangan yaitu seperti penggelapan pajak.Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah
usaha untuk mengurangi maupun menghapus hutang pajak yang berdasarkan ketentuan
yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan
(illegal),seperti : tidak melaporkan sebagian penjualan,memperbesar biaya
dengan cara fiktif,dan memungut pajak tetapi tidak menyetor.
Peraturan-peraturan tentang tindak perpajakan
Banyaknya kasus tentang penggelapan pajak atau tindak kejahatan mengenai perpajakan menyebabkan Pemerintah mengeluarkan berbagai upaya dalam mengatasi permasalahan tersebut seperti diatur dalam KUP tentang tindakan perpajakan yang akan diulas diberkut ini.
1. Perbuatan alpa dalam pidana pajak, tidak menyampaikan SPT, menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali), dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar hal ini disebutkan pada pasal 38.
1. Perbuatan alpa dalam pidana pajak, tidak menyampaikan SPT, menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali), dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar hal ini disebutkan pada pasal 38.
2. Perbuatan sengaja seperti : tidak mendaftarkan
diri,menyalahgunakan
NPWP/NPPKP,tidak menyampaikan
SPT,menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap,menolak untuk
dilakukan pemeriksaan,memperlihatkan pembukuan palsu /dipalsukan, tidak menyelenggarakan/memperlihatkan/meminjamkan
Pembukuan,tidak menyimpan
buku, catatan, dokumen cfm pasal 28 ayat (11) UU KUP,tidak menyetorkan
pajak yang telah dipotong/dipungut hal ini disebutkan pada pasal 39 ayat (1).Sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Penjara
minimal 6 bulan maksimal 6 Tahun dan Denda minimal 2 kali maksimal 4
kali jumlah pajak yang terutang/kurang dibayar.
3. Pengulangan perbuatan Pidana juga akan dikenai ancaman Pidana
sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum
lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana hal ini terdapat pada Pasal 39 ayat (2) .Kemudian dalam pasal 39 ayat (3) yaitu mengenai perbuatan percobaan pidana,Percobaan ini seperti : Menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP,Menyampaikan SPT
dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.(Dalam rangka
mengajukan restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak), sanksi Pidana
Penjara Minimal 6 Bulan Maksimal 2 Tahun dan Denda Minimal 2 Kali Maksimal 4
Kali jumlah restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak.
3.Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP juga dikenai sanksi tindak pidana yaitu Pasal 39A .
4. Pada Pasal 41A yaitu mengenai Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
5. Pada Pasal 35 ayat (1) UU KUP Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Menghalangi/mempersulit penyidikan yang terdapat pada Pasal 41B yaitu dijelaskan bahwa setiap orang yang
dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Peraturan lain seperti Tidak memberikan data/informasi juga akan dikenai sanksi tindak pidana Pasal 41C yang menyebutkan bahwa:
· Setiap instansi
pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi
yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 35
ayat (1) UU KUP) jika setiap orang dengan sengaja tidak memenuhinya, diancam
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00.
· Setiap orang dengan
sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban Pasal 35A ayat (1), pidana
kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00
·
Setiap orang dengan
sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal
Pajak, pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda maks.
Rp800.000.000,00
·
Setiap orang dengan
sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan
kerugian kepada Negara, pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00.
6. Pada Pasal 43 tentang Penyertaan Perbuatan Pidana,yaitu:
1. Ketentuan
sebagaimana pasal 39 dan 39A berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari
wajib pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan,
menganjurkan, membantu melakukan tindak pidana
2.Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh
melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan.
7. Pasal 40 tentang Daluarsa.Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak : saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan
8. Pasal 34 tentang Rahasia
Jabatan.Pejabat dan Tenaga
Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Kecuali pejabat dan
tenaga ahli :
· sebagai saksi atau
saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
· ditetapkan Menteri
Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau
instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan
negara.
Sanksi karena :
1. ALPA: Pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun, dan denda setinggi-tingginya
Rp25.000.000,00
2 SENGAJA : Pidana Penjara selama-lamanya dua tahun, dan denda setinggi-tingginya Rp50.000.000,00
2 SENGAJA : Pidana Penjara selama-lamanya dua tahun, dan denda setinggi-tingginya Rp50.000.000,00
9. Pasal 36A tentang Pegawai
Pajak.Yang terbukti
melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak, menguntungkan diri
sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP; dengan maksud menguntungkan
diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:
1.
memaksa seseorang
untuk memberikan sesuatu,
2.untuk membayar
atau
3.menerima
pembayaran, atau
4.untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri,
Diancam dengan
pidana Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan
perubahannya.
Kasus Penggelapan
Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
PT Asian
Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja
Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah
keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar
(sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang
berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International
Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri
International, dan Pacific Oil &
Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet,
kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan
salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik
yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak
goreng.
Terungkapnya
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto
(Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta
pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG
– yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh
perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam
akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen
penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan
komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian
VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda
Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang
ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan
sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah
dokumen yang berjudul “AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada
sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan
dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar
negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke
pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri
bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang
menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan
Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan
tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut
terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral
Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas
pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap
kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan
hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak
2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang
berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan
untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3
triliun.
Dari
rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK,
AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus,
direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen
Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya
kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan
investigatif Tempo – baik koran
maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan
suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua
pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle
blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum
malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle
blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang –
karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG.
Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan
pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif
Metta Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan
Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen
Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan
seputar kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang
komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan
PT AAG – menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara
etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi
untuk memperkarakan Tempo.Apa
yang dialami Vincent dan Tempo tersebut
sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama
ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi
kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang
sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai
bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum –
baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin
Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak
lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus
yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.
Penyelesaian
Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan
penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun
terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai
trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini
sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya
keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri
ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat
kerah putih (white collar criminal)
yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang
karena kekuatan kapital nya.
Celah
Keluar dari Pengadilan
Meski
peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi
pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk
meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B
UU No.28/2007 membuka peluang out of
court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu
mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu
telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda. Ketentuan
hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan
bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku
untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak
dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi
aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian
di luar sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang
perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada
fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh
Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak”
sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan
demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai
pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan
ini.
Tidak Hanya Urusan Pajak
Menilik
modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya
perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan
terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian
uang (money laundering). Dalam hal itu,
penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana
pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri
sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara
untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang
sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat
menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian
Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban
pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong
Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian
Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah
merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai
rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan
pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile,
karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi
kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian
Agri Group semakin didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi
mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak
Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan
fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan pengecekan
rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di
Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile
transaksi keuangan yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan
fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang
dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan
dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama, penempatan (placement) yang dimulai dengan menyelundupakan
penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain. Kedua, pelapisan (layering) yaitu
proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai
hasil upaya placement ke tempat
lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan
atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein,
2007). Ketiga, integrasi (integration) yang merupakan tahap akhir dari proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak
pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.
Berujung
di Pengadilan
Berbeda
dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak pidana
pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk
menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik dapat
melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana
pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar.
Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi catatan
lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk menghentikan
penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum
dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita bersama terhadap
filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak
diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga negara
di hadapan hukum.
Daftar Pustaka :
http://ekstensifikasi423.blogspot.co.id/2014/12/tindak-pidana-perpajakan.html
diakses : 27 April 2016
http://ari-wirawinata.blogspot.co.id/2011/10/makalah-kasus-penggelapan-pajak-oleh-pt.html
diakses : 27 April 2016